Saturday, June 25, 2016

Dilema Keberagaman "Apakah Harus Menjadi Sama?"

Gua berkemas. Seraya melompat dari bangku langsung berjalan menuju dosen yang sedang mengajar di depan. Gua mulai mengutarakan maksud gua bahwa gua mau pulang kampung (sebenarnya tujuan gua kota sih, bukan kampung). Dosen gua dengan wajah sangarnya mulai berkata "Itu pilihan kamu mau pulang atau tinggal disini mengikuti kelas! Baru tanggal segini kamu sudah pulang! Ini sebenarnya yang ingin saya sampaikan barusan. Kalian seharusnya lebih memilih kelas. Bahkan seharusnya sebagai mahasiswa, kalian tidak perlu pulang kampung!"

Gua mulai menelan ludah dan berkata dalam hati "Jiirr, gila banget kalo gua gak dibolehin pulang ne. Pesawat takeoff jam 4 lagi. Gua bisa telat dan gak jadi pulang kampung ne!" Dengan memasang muka bersahabat (smiling face), gua berusaha menjelaskan, namun beliau tetap membantah dengan dalil-dalil lain. Disatu sisi, akibat gua senyum-senyum menatap beliau, dia pun mulai senyum-senyum juga sambil bertitah. (kayaknya trik ini mungkin bisa berhasil pikir gua)

Gua perhatikan suara kelas mulai hening pertanda teman-teman di belakang gua pada tidur*. Eh, bukan deng, pada diam memperhatikan apa yang beliau katakan. "Yaudah, itu pilihan kamu mau pulang atau tinggal di kelas." Kalimat terakhir beliau yang gua dengar "Saya permisi yaa pak." Beliau mengangguk dengan senyuman terpaksa . Gua pun menyambar tangan beliau dan berusaha menciumnya (untuk memperlihatkan kalo gua hanyalah anak baik-baik yang juga butuh pulang kampung. hehe). Gua langsung berjalan lurus ke arah pintu dengan gerakan cepat dan orang-orang dikelas mulai berteriak "Oleh-olehnya yaa wan jangan lupa". Kata "oleh-oleh" pun mulai bertebaran di telinga gua. "Oleh-oleh!" "Oleh-oleh!" "Oleh-oleh!". Gua keluar dengan membanting pintu kelas dan merasa kalo hari itu gua bebas! 

Gua balik ke kosan buat persiapan. Selesai packing, gua pun berangkat dengan grabcar . Tiba di bandara, gua langsung mencari counter buat menaruh koper gua di bagasi (sebelumnya gua sudah check-in online). Selesai melakukan check-in offline di counter, gua pun langsung menunggu di ruang tunggu. Setelah agak lama menunggu, terlihat pesawat gua bakalan telat karena jam sudah menunjukkan pukul 15: 15 namun belom boarding juga, padahal di boarding pass tertulis waktu boarding adalah pukul 14:55. "Yaelah, dasar L*on Air! Kerjaannya telat mulu!" Pikir gua. 

Singkat cerita gua udah sampek di Kualanamu Medan. Gua pun mulai bergegas mengambil bagasi dan keluar mencari paradep taxi buat jalan ke siantar. Tidak sampai menunggu 10 menit, mobil kami pun langsung jalan. Di dalam mobil tersebut terdapat 8 manusia, dengan cuman seorang cewek di antara ke-delapan-nya itu. Mobil tersebut terasa sangat sesak karena dipenuhi pula dengan koper-koper kami didalamnya. Gua sampek sulit bergerak mencoba menemukan posisi yang nyaman.

Tiba-tiba manusia disamping gua bersuara "Dari mana tadi?" "Dari Jakarta pak". Sahut gua ketika menyadari kalo manusia disamping gua ini adalah seorang bapak-bapak. "Ooh, Jakartanya dimananya?" "Di Bintaro pak" "Ooh Bintaro. Sudah nikah yaa?" Jlepp, mendengar pertanyaan itu gua terkejut setengah mati. 'Tampang kayak gua dikira udah nikah? Apa yang salah dengan dunia ini?' Pikir gua. "Belom pak. Saya masih kuliah". "Kuliah dimana?" "...." Dan pembicaraan ngalur ngidul pun berlangsung selama beberapa waktu.

Gua perhatikan 3 orang di depan gua sedang berdikusi dengan menggunakan bahasa batak. Tiba-tiba bapak disebelah gua tadi ikut nyambung dan mulai mengeluarkan kemampuan bahasa bataknya. Gua (dan mungkin orang yang duduk di sisi pojok kursi gua) gak ngerti apa yang mereka bicarakan. Gua perhatikan sambil melihat pemandangan luar yang gelap ke depan. Tiba-tiba gua rasakan arah pembicaraan mulai mengarah ke perdebatan dengan 3 orang (yang duduk di depan) battle melawan 1 orang yang tepat duduk disamping gua. Kadang-kadang ketawa pecah akibat ada yang lucu dari perdebatan itu. Gua (gak tau kenapa) juga ikut cengengesan ngelihatnya padahal gua gak ngerti. 

Gua lihat perdebatan mereka makin kesini semakin ilmiah dan gua mulai sadar ternyata mereka sedang ngomongin tentang ajaran agama kristen dan teologi (gua tau dari kata-kata yang agak fimiliar dengan bahasa indonesia). Gua berpendapat bapak disamping ini adalah seorang kristen protestan yang liberal, Hal ini terlihat dari cara dia mengkritik sistem di gereja pentakosta (yang gua juga gak terlalu ngerti apa yang dia kritik) dan dengan sikapnya yang dianggap 3 orang didepan (gua pikir mereka adalah katolik) selalu menafsirkan injil sesuka hati dengan pemahamannya sendiri. 

Ketika terdesak, bapak disamping gua ngomong sambil terkadang ngelirik ke muka gua, seakan-akan mengisyaratkan gua untuk membantu ngebela dia. 'Kalo gua bisa ngomong bahasa batak mungkin bakalan gua bantu lu pak.' Pikir gua kasihan liat bapak itu sendiri tetap berpegang teguh pada pemikirannya melawan 3 orang di depan.

'Bapak ini berani beda'. Pikir gua. Hal ini yang ngebuat gua kadang berpikir mayoritas orang menjadi takut hanya karena pemikirannya berbeda dengan orang lain (apalagi kalo orang lainnya ini banyak). Manusia cenderung lebih memilih arus mainstream ketimbang berpegang teguh pada apa yang mereka yakini, apalagi kalau yang mereka yakini adalah hal yang jauh berbeda dari apa yang orang-orang biasa yakini. Dan gua pun belajar dari perjalanan gua dari kualanamu ke siantar (ditengah kesempitan) bahwa masih ada orang-orang aneh yang masih berani beda. Mereka berani menjadi diri sendiri dan mereka berani menyatakannya dengan lantang kepada dunia kalau mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Lalu pertanyaan gua adalah "kalau bisa berbeda, mengapa harus sama?"


#AMMR

No comments:

Post a Comment